Nama Kelompok :
- Windi Astuti (2C214273)
- Wahyuning Ayu W (2C214170)
- Yeni Aprilia (2C214380)
- Yudia Mustika (2C214519)
- Yulian Widiatmoko (2C214547)
Perbankan
Syariah sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
merupakan segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha
syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya. Adapun cara penyelesaian sengketa perbankan
syariah menurut Undang-Undangn Nomor 21 Tahun 2008 yaitu: melalui musyawarah,
melalui mediasi perbankan, melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
atau lembaga arbitrase lain dan/atau, melalui pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
Kebutuhan
masyarakat muslim Indonesia akan adanya bank yang beroperasi sesuai dengan
nilai-nilai dan prinsip ekonomi Islam, secara yuridis diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-Undang
tersebut eksistensi bank Islam atau perbankan syariah belum dinyatakan secara
ekspilist, melainkan baru disebutkan dengan menggunankan istilah “Bank
Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil”. Di dalam Pasal 6 maupun Pasal 13 Undang-Undang
tersebut menyatakan adanya bank berdasarkan prinsip bagi hasil terkesan hanya
berupa sisipan, belum begitu tampak adanya kesungguhan untuk mengatur
beroperasinya bank Islam di Indonesia. Apa yang dimaksud dengan istilah
“prinsip bagi hasil” itu sendiri, apa pula landasan hukum operasionalnya dan
kegiatan usaha apa saja yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank
tersebut, sama sekali belum ditegaskan dalam Undang-Undang tersebut.
Akan tetapi,
terlepas dari berbagai kekurangannya mengenai pengaturan bank syariah dalam UU
tersebut, bagi umat Islam Indonesia lahirnya UU Perbankan tersebut merupakan
sebuah langkah maju. Dengan diberlakukannya UU Perbankan, upaya umat Islam
untuk mendirikan bank yang sesuai dengan ajaran Islam di Indonesia, yang
sebelumnya dihadapkan dengan kendala belum adanya peraturan perundangan yang
dapat dijadikan landasan hukum untuk itu, sekarang sudah mulai dapat
diwujudkan. Hal ini ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalah Indonesia
(BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 di Jakarta, yang merupakan bank Islam yang
pertama di Indonesia.
Pada tahun 1998
disahkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, pengaturan mengenai perbankan Islam sudah
lebih jelas dibandingan sebelumnya. Undang-Undang tersebut tmengakui dengan
tegas keberadaan bank syariah dalam sistem perbankan nasional. Hal ini
dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) dan (4) Undang-Undang tersebut.5 Konsep
perbankan syariah yang sebelumnya hanya disebutkan sebagai “bank berdasarkan
prinsip bagi hasil”, sekarang dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan secara
jelas dengan menggunakan istilah “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Demikian
juga halnya dengan landasan hukum operasionalnya serta jenis-jenis kegiatan
usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank tersebut juga
telah dirinci sedemikian rupa dalam Undang-Undang tersebut.
Upaya yang terus
menerus dilakukan semua pihak untuk melengkapi aturan hukum beroperasinya bank
syariah ternyata membuahkan hasil setelah disahkannya Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. Dengan adanya
undang-undang tersebut, maka semakin diakui keberadaan bank syariah di
Indonesia sebagai lembaga perantara keuangan dalam menjalankan fungsinya sesuai
dengan prinsip syariah yang menjadi landasan operasionalnya.
Berkaitan dengan
itu, masuknya sengeketa bidang perbankan syariah ke dalam kewenangan absolute
lingkungan peradilan agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian disusul dengan terbitnya
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Hal ini antara lain
dimaksudkan agar prinsip-prinsip syariah yang menjadi landasan hukum bank
syariah dalam menjalankan aktivitasnya dapat diterapkan secara optimal, konkrit
dan seutuhnya.
Seperti yang
kita diketahui, bahwa prinsip syariah yang menjadi landasan bank syariah bukan
hanya sebatas landasan ideologis saja, melainkan juga merupakan landasan
operasionalnya. Berkaitan dengan hal itu bagi bank syariah dalam menjalankan
aktivitasnya tidak hanya kegiatan usahanya atau produknya saja yang harus
sesuai dengan prinsip syariah, tetapi juga meliputi hubungan hukum yang
tercipta dan akibat hukum yang timbul. Termasuk dalam hal ini jika terjadi sengketa
antara pihak bank syariah dengan nasabahnya, semua harus didasarkan dan
diselesaikan sesuai dengan prinsip syariah tersebut.
Akan tetapi,
prinsip syariah yang menjadi landasan utama bank syariah dalam menjalankan
fungsinya, tampak belum dapat diterapkan dan ditegakkan secara optimal.
Terutama dalam hal sengketa antara pihak bank syariah dengan nasabahnya. Hal
ini karena sejak terjadinya akad antara bank syariah dengan nasabahnya hingga
berakhir suatu perjanjian, ternyata semuanya mutlak mengikuti dan memedomani
ketentuan KUHPerdata. Jika terjadi sengketa antara bank syariah dengan
nasabahnya berkaitan dengan perjanjian tersebut, menurut Sjahdeni “tidak akan
diberlakukan hukum Islam, yang diberlakukan dalam hal ini adalah hukum
perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata karena hukum perdata itulah yang
merupakan hukum positif”.
Penerapan
prinsip syariah tersebut menjadi lebih sulit manakalah sengketa yang terjadi
harus diselesaikan melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan
syariah tersebut termasuk dalam ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan
peradilan umum. Dalam hal ini persoalannya bukan hanya menyangkut hakim
peradilan umum yang belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah, akan tetapi
lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan syariah Islam sebagai landasan
hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Apabila perkara
perbankan syariah tetap menjadi kewenangan peradilan umum, penyelesaiannya
jelas tidak akan mengacu pada prinsip-prinsip syariah, melainkan mengacu pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku secara umum yang belum tentu relevan dengan
prinsip-prinsip syariah. Sehingga prinsip-prinsip syariah yang menjadi dasar
kegiatan usaha bank syariah tersebut akan dapat ditegakkan secara konkrit dan
seutuhnya, melainkan hanya bersifat konseptual dan parsial saja. Prinsip
syariah tersebut dapat diterapkan secara konkrit dan seutuhnya dalam sisten
operasional bank syariah, sejak perjanjian antara bank tersebut dengan
nasabahnya hingga berakhirnya perjanjian, termasuk jika terjadi sengketa antara
bank syariah dengan pihak lain, maka dimasukkanlah sengketa bidang perbankan
syariah tesebut ke dalam kewenangan lingkungan Peradilan Agama.
Bank syariah
sendiri sebagai lembaga keuangan dalam menjalankan aktivitasnya mempunyai
implikasi yang luas dan dinamis. Dalam konteksnya dengan hukum perbankan,
implikasi dari berbagai aktivitas perbankan syariah tersebut tidak hanya
meliputi aspek hukum perdata saja, melainkan juga meliputi aspek hukum pidana,
hukum dagang, dan hukum Internasional. Meskipun dalam aktivitasnya bank syariah
tetap tidak terlepas dari ketentuan Undang-Undang Perbankan Nasional.
Devinisi Bank Syariah
Bank Syariah
terdiri atas dua kata yaitu, bank dan syariah. Kata bank bermakna suatu lembaga
keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan dari dua pihak, yaitu pihak
yang berkelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Sedangkan kata syariah
dalam versi bank syariah di Indonesia adalah aturan perjanjian berdasarkan yang
dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpangan dana dan/ atau
pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.
Penggabungan
kedua kata dimaksud, menjadi “bank syariah”. Bank syariah adalah suatu lembaga
keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana
dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan lainnya sesuai dengan hukum
Islam. Selain itu, bank syariah juga bisa disebut Islamic banking atau interest
fee banking, yaitu suatu sistem perbankan dalam pelaksanaan operasional
tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi (maisir), dan ketidakpastian
atau ketidakjelasan (gharar).
Dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dimaksud
dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank
syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta
cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya (Pasal 1 angka 1). Untuk
menjamin kehalalan kegiatan usaha perbankan, maka dalam operasionalnya harus
menggunakan prinsip-prinsip syariah. Dengan demikian lembaga perbankan yang
kegiatan usahanya berdasarkan pada prinsip syariah maka dapat dikatakan sebagai
perbankan syariah.
Landasan Operasional
Bank Syariah
Landasan utama
beroperasinya bank syariah di Indonesia, selain UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, juga UU No. 3 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sekarang
telah diperkuat dengan adanya UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Namun, bagaimanapun seperti lazimnya sebuah undang-undang ia tidak banyak
mengatur hal-hal yang bersifat operasional mengenai bank syariah, melainkan
hanya mengatur hal-hal atau mengenai prinsip-prinsip yang bersifat umum
berkaitan dengan eksistensi bank syariah dalam tata hukum perbankan di
Indonesia.
Sehubungan hal
tersebut, agar bank syariah dapat beroperasi sebagaimana mestinya, maka
diperlukan aturan-aturan tertentu yang bersifat operasional. Dalam rangka itu,
Bank Indonesia selaku bank sentral telah mengeluarkan sejumlah peraturan
sebagai landasan operasional bagi bank syariah dalam menjalankan fungsinya
selaku lembaga perantara keuangan ( itermediary
financial institution).
Landasan
operasional bank syariah di Indonesia selain didasarkan pada undang-undang dan
Peraturan Bank Indonesia (PBI), juga didasarkan pada peraturan-peraturan yang
dikeluarkan oleh lembaga lain, termasuk ketentuan-ketentuan dalam bentuk fatwa
yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI dan Dewan Syariah Nasional
(DSN) yang merupakan peraturan yang sangat penting bagi landasan operasional
bank syariah. Hanya saja yang perlu dipahami mengenai fatwa DSN ini, fungsi dan
kedudukannya tidak sama dengan peraturan perundang-undangan tertulis lainnya.
Ia tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memaksa sebagaimana peraturan
perundang-undangan tertulis. Fatwa pada dasarnya tidak lain merupakan jawaban
atas permasalahan-permasalahan syariah atau perundang-undangan yang belum
jelas.
Adapun fungsi
dan keberdayaanya tidak lain sebagai hukum tidak tertulis, sehingga ia hanya
akan diterapkan dan dijadikan dasar dalam suatu masalah tertentu manakala
benar-benar tidak ada peraturan hukum tertulis yang mengatur masalah tersebut.
Dalam keadaan semacam inilah fatwa-fatwa DSN tersebut dapat dipandang sebagai
salah satu peraturan pelaksana dari peraturan perundang-undangan bidang
perbankan yang berlaku sehingga ia dapat dijadikan sebagai salah satu landasan
operasional bank syariah dalam menjalankan kegiatan usahanya. Atas dasar itulah
dalam Pasal 26 Ayat (2) dan (3) UU No. 21 Tahun 2008 telah ditentukan bahwa
fatwa-fatwa Majelis Ulama berkaitan dengan kegiatan usaha bank syariah nantinya
akan dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Hal ini tidak lain dimaksudkan
agar fatwa-fatwa tersebut dalam pelaksanaannya mempunyai kekuatan mengingat dan
memaksa.
Penyelesaian Sengketa
Perbankan Syariah
Ketentuan
dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 mengatur berbagai cara
penyelesaian sengketa perbankan syariah. Penyelesaian sengketa perbankan
syariah menjadi kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan. Namun, para
pihak dalam isi akad dapat menentukan cara penyelesaian sengketa lainnya dan
tentu saja penyelesaiannya tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
Penyelesaian sengketa perbankan syariah lainnya yang dilakukan sesuai dengan
isi akad dapat berupa: melalui musyawarah, melalui mediasi perbankan, melalui
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain
dan/atau, melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Penyelesaian
sengketa perbankan syariah lainnya yang dilakukan sesuai dengan isi akad
seperti dalam Pasal 55 Ayat (2) di atas menyebutkan bahwa pihak yang berwenang
menyelesaikan sengketa sesuai dengan isi akad adalah berupa upaya sebagai
berikut:
Sengketa
pada hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan atau
pertentangan antara dua pihak atau lebih. Sebagaimana dalam sengketa perdata,
dalam sengketa bisnis pun pada prinsipnya pihak-pihak yang bersengketa diberi
kebebasan untuk menentukan mekanisme pilihan penyelesaian sengketa yang
dikehendaki, apakah melalui jalur pengadilan (litigasi) ataupun jalur di luar
pengadilan (nonlitigasi), sepanjang tidak ditentukan sebaliknya dalam peraturan
perundang-undangan.
Setiap
jenis sengketa terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang tepat.
Masing-masing sengketa yang terjadi belum tentu sama treatment penyelesaian.
Semakin luas dan banyak kegiatan dalam bidang bisnis dan perdagangan, frekuensi
terjadinya sengketa juga tinggi. Ini berarti, semakin banyak sengketa yang
harus diselesaikan dari waktu ke waktu.
Dalam
bisnis perbankan syariah, tidak menutup kemungkinan terjadi perselisihan antara
bank dan nasabahnya yang disebabkan, misalnya, ketidaksesuaian antara produk
perbankan syariah yang ditawarkan dengan kenyataannya, terdapat aturan yang
merugikan nasabah perbankan syariah, dan hal-hal lainnya yang menyangkut
kinerja perbankan syariah dalam melayani nasabahnya. Kalau persengketaan antara
bank dan nasabah perbankan syariah tersebut tidak terselesaikan, hal itu dapat
merugikan nasabah secara financial dan mengganggu reputasi perbankan syariah di
mata masyarakat pada umumnya dan nasbahnya pada khususnya. Oleh karena itu
perlu adanya suatu lembaga yang dapat mewadahi penyelesaian sengketa antara
bank dan nasabah perbankan syariah secara damai, saling menghormati dan
berkeadilan.
Di
dalam Pasal 20 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang
Akad Penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah menyatakan:
“Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam akad atau jika terjadi
perselisihan di antara bank dan nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan
melalui musyawarah”.
Dan
dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam kegiatan menghimpun
dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah bahwa:
“Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana tertuang dalam akad antara bank dengan nasabah, atau
jika terjadi sengketa antara bank dengan nasabah, penyelesaian dilakukan
melalui musyawarah”.
Jadi,
apabila terjadi perselisihan antara bank dan nasabah perbankan syariah,
penyelesaian utamanya dilakukan melalui cara “musyawarah”, “perdamaian”, atau
“damai” di antara kedua belah pihak yang bersengketa.
B. Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Melalui Arbitrase Syariah
Di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 memberikan
kemungkinan alternative penyelesaian sengketa perbankan syariah tidak hanya
melalui badan arbitrase syariah, tetapi dapat pula melalui alternative
penyelesaian sengketa lainnya. Demikian pula Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 juga memberikan kemungkinan alternatif penyelesaian sengketa
perbankan syariah melalui alternative penyelesaian sengketa lainnya di samping
badan arbitrase syariah. Pasal 20 Ayat (2) Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/46/PBI/2005 meneyatakan bahwa:
“Dalam hal musyawarah tidak mencapai
kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif
penyelesaian sengketa atau Badan Arbitrase Syariah”
Dalam
semua fatwa Dewan Syariah Nasional selalu memuat ketentuan penyelesaian
sengketa yang, diantaranya mentetapkan::
“Jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak,maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Dengan
memedomani ketentuan dalam Pasal 4 Ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007, maka penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui mekanisme
arbitrase syariah baru dapat dilakukan jika penyelesaian sengketa melalui
mediasi, termasuk mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan. Jadi, mekanisme
arbitrase syariah dapat dilakukan jika penyelesaian sengketa perbankan syariah
melalui musyawarah dan mediasi tidak mencapai kata sepakat.
C. Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Melalui Mediasi Perbankan
Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan
melalui perundingan yang melibatkan pihak ketiga yang bersikap netral (non
intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa
serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga
tersebut disebut “mediator” atau “penengah”, yang tugasnya hanya membantu
pihak-pihak yang bersengketa dalam penyelesaian masalah, perselisihan, atau
pertikaian di antara para pihak yang bersengketa dan tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan. Mediator di sini hanya bertindak sebagai
fasilitator. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian sengketa
para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai kesepakatan bersama.
Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para
pihak yang sedang bersengketa.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, upaya penyelesaian sengketa
antara nasabah dan bank, selain melalui jalur peradilan, dapat pula dilakukan
melalui negosiasi, mediasi dan arbitrase. Namun, upaya penyelesaian sengketa
melalui arbitrase atau jalur peradilan tidak mudah dilakukan bagi nasabah kecil
dan usaha mikro dan kecil, mengingat hal tersebut memerlukan waktu dan biaya
tidak sedikit. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa nasabah dengan bank perlu
diupayakan secara sederhana, murah dan cepat melalui penyelenggaraan mediasi
perbankan agar hak-hak mereka sebagai nasabah dapat terjaga dan terpenuhi
dengan baik dan reputasi bak tetap terjaga.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Bank Indonesia mengatur mediasi
perbankan sebagaimana tersebut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008. Ketentuan mediasi ini berlaku
pula, baik bagi bank ummum berdasarkan prinsip syariah maupun BPRS. Ketentuan
Pasal 1 angka 5 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 menyatakan bahwa:
“Mediasi adalah proses
penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang
bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela
terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan”.
Dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006 sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/1/PBI/2008 menyatakan bahwa:
“Mediasi perbankan
diselenggarakan dalam hal terjadi sengketa antara nasabah dan bank yang
disebabkan oleh tidak dipenuhinya tuntutan finansial nasabah oleh bank dalam
penyelesaian pengaduan nasabah.”
D. Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Melalui Litigasi (Peradilan)
Penyelesaian
sengketa perbankan syariah, selain dilakukan melalui musyawarah, mediasi
perbankan, dan arbitrase syariah juga dapat dilakukan melalui badan peradilan.
Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor
9/19/PBI/2007 yang menyatakan bahwa dalam hal penyelesaian sengketa melalui
mediasi termasuk mediasi perbankan tidak mencapai kesepakatan, maka
penyelesaian sengketa dapat dilakukan memalui lembaga peradilan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari sini sudah jelas bahwa
penyelesaian sengketa perbankan syariah juga dapat dilakukan melalui lembaga
peradilan sebagai alternative terkahir penyelesaian sengketa perbankan syariah,
setelah melalui musyawarah,mediasi perbankan dan arbitrase syariah tidak
tercapai kesepakatan penyelesaian sengketa perbankan syariah.
Ketika
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama belum diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, masih terdapat perdebatan badan peradilan
mana yang sesuai dengan dalam menyelesaiakan persengketaan perbankan syariah
tersebut, apakah peradilan umum atau peradilan agama karena keduanya dianggap
mempunyai kekuatan dan kelemahan.
Ada
beberapa pihak yang berpendapat bahwa Peradilan Umum lebih berwenang di dalam
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa perbankan syariah dengan
pertimbangan sebagai berikut:
v
Wewenang peradilan umum juga menangani bidang
bisnis, sperti pengadilan niaga yang berada di bawah naungan peradilan umum
sehingga pada peradilan umum tersebut bisa disediakan satu kamar yang menerima
kasus tentang bisnis syariah.
v
Menghindari terjadinya gesekan-gesekan politik
yang masih apriori terhadap umat Islam sehingga mengakibatkan tidak lancarnya
pelaksanaan sistem ekonomi syariah.
v
Penempatan sengketa bisnis syariah pada
pengadilan agama justru akan memperlambat pertumbuhan bisnis syariah karena ada
kesan pengadilan agama hanya pengadilan bagi mereka yang beragama Islam. Para
pihak yang menggunakan bisnis syariah belum tentu bergama Islam semua.
Sementara ada anggapan bahwa para pihak yang harus bersengketa di pengadilan
agama adalah harus muslim mengingat asas personalitas yang dianutnya.
Daftar Pustaka :
Afnil Guza, Undang-Undang Perbankan Syariah (UU RI Nomor
21 Tahun 2008) dan Surat Berharga Syariah Negara (UU RI Nomor 19 Tahun
2008), Jakarta: Asa Mandiri, 2008.
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.
No comments:
Post a Comment